Rosalinda dan Emosi Irrasionalitas Manusia
oleh:
Eko Bambang S
Mahasiswa FE Universitas Brawijaya Malang
Suatu kali, dalam kelas yang saya ikuti, tiba-tiba dosen yang tadinya asyik menerangkan topik kuliah, menghentikan pembicaraannya dan menyelesaikan kuliah untuk hari itu. Waktu itu jam menunjukkan pukul lima sore dan kuliah baru berjalan separuh. Berdasarkan jadwal perkuliahan resmi kmpus, kuliah seharusnya berakhir pukul 18.00 WIB. Artinya, kuliah masih harus berlangsung satu jam lagi. Sebagaimana mahasiswa pada umumnya, tentu saja saya sangat senang akan hal ini. Siapa sih yang tidak senang mengikuti kuliah singkat dan cepat pulang itu? Namun yang menjadikan saya tercengang adalah ketika dosen tersebut menjelaskan alasan dia menghentikan pelajaran. Menurutnya entah benar atau sekadar senda gurau, wallahu a'lam pukul lima petang adalah jadwal tayang telenovela Rosalinda. Telenovela yang dibintangi Thalia seorang artis cantik dan seksi yang juga dikenal sebagai pemain telenovela Maria Mercedes ini memang tengah digandrungi masyarakat saat itu. Dosen saya tercinta itu mengaku harus mengikuti kelanjutannya karena sejak awal ia sudah mengikuti jalan ceritanya. "Sayang betul bila tertinggal satu episode", terangnya.
Peristiwa serupa kembali saya alami, dan kali ini tidak dengan bapak dosen tetapi dengan beberapa teman saya. Waktu itu, seingat saya hari Senin, tanggal 4 Oktober 1999. Seperti biasa, setiap hari Senin jam empat sore, saya ada jadwal kuliah. Namun sebelum kuliah itu berlangsung, jauh-jauh hari beberapa teman saya mengatakan kali ini ia tidak mengikuti kuliah. Setelah saya tanya kenapa, ia menjawab dengan entengbahwa hari ini adalah episode terakhir dari penayangan opera sabun Rosalinda. Dan lagi-lagi, mereka menyayangkan kalau sampai tidak mengikuti episode terakhir, karena mereka akan tidak tahu akhir ceritanya secara langsung dan tak dapat merasakan titik-titik ketegangan secara langsung ending cerita yang menghebohkan itu.
Peristiwa Rosalinda saya temui lagi ketika dalam kelas tadi. Kuliah baru berlangsung 45 menit dari pukul empat sore. Namunsaya melihat sejumlah kegelisahan dari sejumlah teman saya yang duduk di depan saya. Saya tidak bermaksud mengetahui kenapa kok gelisah, namun ada gerundelan kecil yang sempat saya dengar bahwa dia (teman saya) ternyata jengkel karena kuliah tidak segera disudahi sementara waktu sudah menunjukkan pukul 16.45. Jadi seperempat jam lagi sinetron Rosalinda bakal dimulai. Padahal mereka masih harus menghabiskan waktu untuk perjalanan pulang ke runmah. "Sayang kan kalau tidak mengikuti akhir ceritanya," bisik teman sebelahnya.
Saya berharap peristiwa ini hanya sebuah kebetulan. Namun saya juga heran, kalau ini kebetulan, mengapa setiap waktu yang saya lewati selalu saja fenomena ini saya temui. Sejumlah peristiwa yang saya alami sepertinya tidak terencanakan, terprogram jauh-jauh hari. Semua berjalan begitu saja. Namun tanpa sadar kehidupan kita telah dimiliki kotak ajaib bernama televisi.
Apa sih hebatnya sinetron selain bisa membuai kita untuk sebuah kemewahan rumah dengan sejumlah perabotan mahal, kegantengan pemain atau kemolekan tubuh para artis yang seolah ingin keluar dari kain penutupnya setiap kali tampil. Atau, kesedihan yang dibuatnya sendiri dan untuk dirinya sendiri. Apa sih hebatnya, sehingga kita ikut menangis sementara kita tidak pernah tahu kenapa kita mesti menangis. Bahkan terkadang kita merasa libido kita tersalurkan ketika sudah melihat bentuk tubuh yang gagah atau seksi setengah telanjang yang selalu muncul. Atau kita harus berdecak kagum melihat kemewahan dan kekayaan yang ditampilkan, sementara kita tidak pernah menyentuhnya? Saya telah mendapatkan jawabannya bahwa itu semua dilakukan untuk kepuasan. Kehidupan, rasio dan kebudayaan kita telah direnggut dan diatur stasiun televisi. Dan kita dengan sadar mengatakan "yang penting saya mendapatkan kepuasan". Itulah masyarakat kita, yang dalam istilah psikologis menjadi masyarakat masokhis yaitu masyarakat yang dengan sukarela, pasrah, senang hati menyerahkan tubuhnya untuk disakiti dan diperkosa demi mendapat kepuasan.
***